Aksi polisi tilang polisi diapresiasi, namun publik menuntut lebih. Kasus ini menjadi ujian, apakah ketegasan hukum bagi aparat hanya berlaku untuk pelanggaran lalu lintas kecil saja?

Sebuah pemandangan langka dalam Operasi Patuh Nala 2025 di Bengkulu menjadi sorotan utama dan menuai pujian luas dari masyarakat. Momen ketika seorang petugas Provos (Profesi dan Pengamanan) menindak tegas rekannya sesama anggota polisi yang melanggar aturan lalu lintas dengan cepat menyebar. Aksi polisi tilang polisi ini dipandang sebagai simbol kuat bahwa hukum berlaku sama untuk semua, tanpa pandang bulu.

Apresiasi publik yang mengalir deras sejatinya dapat dimengerti. Di tengah persepsi yang sering kali skeptis terhadap penegakan hukum, tindakan ini seolah menjadi oase yang menyejukkan. Ini menunjukkan komitmen institusi Polri untuk membersihkan diri dari dalam, dimulai dari pelanggaran paling kasat mata di jalan raya. Pihak Dirlantas Polda Bengkulu pun menegaskan bahwa setiap anggota yang melanggar akan ditindak sesuai prosedur, sama seperti warga sipil pada umumnya.

Namun, di balik pujian tersebut, insiden ini secara tidak langsung memantik sebuah pertanyaan yang lebih fundamental dan kritis: apakah ketegasan “tanpa pandang bulu” ini akan konsisten diterapkan untuk semua jenis pelanggaran oleh oknum aparat?

Kasus polisi tilang polisi adalah sebuah langkah awal yang patut dihargai. Akan tetapi, publik tentu berharap bahwa semangat kesetaraan di depan hukum ini tidak hanya berhenti pada pelanggaran minor seperti tidak memakai spion atau helm. Tantangan sesungguhnya bagi institusi Polri adalah menerapkan standar akuntabilitas yang sama tegasnya untuk kasus-kasus yang lebih berat, misalnya penyalahgunaan wewenang, kekerasan eksesif, atau bahkan dugaan keterlibatan dalam praktik ilegal.

Para pengamat sosial menilai, euforia sesaat atas tindakan ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk membuktikan bahwa ini bukan sekadar unjuk gigi selama masa operasi lalu lintas. Ini harus menjadi standar operasional yang permanen dan meresap dalam budaya institusi. Konsistensi dalam menindak pelanggaran kecil hingga besar di internal akan menjadi fondasi utama untuk membangun kembali kepercayaan publik secara utuh.

Pada akhirnya, momen polisi tilang polisi ini menjadi cermin bagi masyarakat dan juga bagi institusi itu sendiri. Ia adalah ujian, apakah penegakan hukum yang adil ini hanya sebuah etalase sesaat, atau benar-benar merupakan fajar baru dari sebuah reformasi internal yang substansial dan berkelanjutan.