Ketika keluhan pesawat delay dari seorang tokoh publik kembali menyorot masalah kronis industri penerbangan. Nasib penumpang biasa menjadi cerminan buruknya manajemen maskapai dan lemahnya perlindungan konsumen.
Keluhan yang dilayangkan tokoh publik Ridwan Kamil mengenai penundaan penerbangan Super Air Jet hingga 10 jam lebih menjadi puncak gunung es dari masalah kronis yang telah lama mengakar di industri penerbangan Indonesia: pesawat delay. Meskipun protes dari seorang figur ternama mampu menyita perhatian nasional, insiden ini sejatinya adalah cerminan dari frustrasi ribuan penumpang biasa yang mengalaminya setiap hari tanpa mendapatkan sorotan serupa.
Kasus yang menimpa Ridwan Kamil menjadi viral karena statusnya, namun ceritanya sangat familiar. Penumpang tiba di bandara tepat waktu, hanya untuk dihadapkan pada papan pengumuman yang terus mengubah jadwal keberangkatan tanpa kepastian dan informasi yang jelas dari pihak maskapai. Situasi ini bukan hal baru dan hampir dialami oleh semua maskapai yang beroperasi di tanah air.
Masalah pesawat delay telah menjadi wabah yang menggerogoti kepercayaan publik. Di balik alasan operasional atau teknis yang sering kali dijadikan tameng oleh maskapai, terdapat dampak kerugian nyata yang ditanggung penumpang. Bagi pebisnis, penundaan berarti kehilangan peluang atau rapat penting. Bagi keluarga yang berlibur, ini berarti waktu istirahat yang terpotong dan rencana yang berantakan. Bagi mereka yang harus menyambung penerbangan lain, delay bisa berarti hangusnya tiket dan biaya tambahan yang tidak sedikit.
Sementara keluhan seorang tokoh bisa mendapat respons cepat dari manajemen puncak maskapai, penumpang biasa sering kali dibiarkan terkatung-katung. Kompensasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. PM 89 Tahun 2015 sering kali tidak berjalan mulus. Banyak penumpang yang tidak menyadari hak mereka, atau bahkan ketika mereka menuntutnya, proses yang berbelit-belit dan penawaran kompensasi yang minim membuat mereka akhirnya pasrah.
Insiden Super Air Jet ini seharusnya menjadi momentum bagi regulator, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, untuk tidak hanya memberikan teguran, tetapi juga melakukan audit menyeluruh terhadap praktik manajemen keterlambatan oleh maskapai. Ini bukan lagi soal satu insiden, melainkan tentang budaya buruk yang meremehkan waktu dan hak konsumen. Sudah saatnya sanksi tegas dan pengawasan yang ketat diberlakukan agar masalah pesawat delay tidak lagi menjadi “hal yang biasa” dalam penerbangan Indonesia.