Mengungkap bagaimana Jurist Tan, seorang staf khusus, diduga menjadi otak di balik skandal korupsi Chromebook Kemendikbudristek, mengatur proyek vital pendidikan dari balik layar untuk keuntungan pribadi.
Sebuah proyek vital untuk digitalisasi pendidikan nasional kini berada di bawah bayang-bayang skandal korupsi. Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menetapkan Jurist Tan sebagai tersangka, menempatkannya sebagai figur sentral yang diduga merekayasa pengadaan laptop Chromebook untuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kasus ini bukan sekadar tentang kerugian negara, melainkan tentang bagaimana sebuah program strategis diduga dibajak sejak dalam pikiran.
Penyelidikan Kejagung melukiskan gambaran suram di mana Jurist Tan, dalam kapasitasnya sebagai Staf Khusus Menteri, diduga tidak bertindak sebagai pengawas, melainkan sebagai dalang utama. Perannya jauh melampaui tugas formal. Bersama beberapa pihak lain, ia disebut aktif dalam grup percakapan WhatsApp bernama “Mas Menteri Core Team” sejak Agustus 2019, di mana benih-benih perencanaan proyek ini pertama kali disemai.
Dari sana, pengaruh Jurist Tan semakin mengakar. Ia diduga memimpin serangkaian rapat daring melalui Zoom, secara efektif mengendalikan arah pembahasan dan spesifikasi teknis proyek. Menurut penyidik, ia secara proaktif melibatkan konsultan dan pejabat internal kementerian, seperti mantan Direktur Sekolah Dasar (SD) dan Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP), untuk menghadiri rapat-rapat yang ia pimpin. Kehadiran para pejabat ini diduga kuat untuk melegitimasi dan melancarkan skenario yang telah disusunnya.
Modus operandi yang terungkap menunjukkan adanya pemufakatan jahat yang sistematis. Alih-alih melakukan kajian objektif, tim teknis diduga diarahkan untuk menghasilkan analisis yang secara spesifik mengunggulkan Chromebook. Pilihan ini terkesan dipaksakan, mengingat hasil uji coba internal pada 2019 justru menyimpulkan bahwa Chromebook kurang efektif untuk pembelajaran di Indonesia. Ketergantungan perangkat pada koneksi internet yang stabil menjadi titik lemah utamanya, mengingat konektivitas internet yang belum merata di seluruh pelosok negeri.
Penetapan Jurist Tan sebagai tersangka oleh Kejagung membuka kotak pandora tentang adanya “invisible hand” atau tangan tak terlihat yang mampu mengendalikan proyek bernilai triliunan rupiah. Ini menjadi pertanyaan besar tentang tata kelola dan pengawasan internal di kementerian. Bagaimana seorang staf khusus bisa memiliki pengaruh sedemikian rupa untuk mendikte spesifikasi teknis dan mengarahkan pemenang tender?
Kini, kasus ini terus bergulir. Kejagung tidak hanya berhenti pada Jurist Tan, tetapi juga telah menetapkan tersangka lainnya. Publik menanti pengungkapan lebih lanjut mengenai siapa saja yang terlibat dalam konspirasi ini dan bagaimana sebuah program yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa justru menjadi lahan korupsi yang terencana.