Demo buruh 28 Agustus 2025 batal di Istana, namun ini bukan kekalahan. Ini adalah manuver strategis buruh dalam perjuangan yang lebih besar.

Aksi demonstrasi yang digalang oleh Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) pada tanggal 28 Agustus 2025 mendadak menjadi sorotan. Bukan karena jumlah massa yang membludak, melainkan karena pembatalan rencana demo di depan Istana Negara. Keputusan yang terkesan “tiba-tiba” ini, jika diamati lebih dalam, bukanlah tanda menyerah. Sebaliknya, ini menunjukkan adanya pergeseran strategi yang lebih matang dan terukur di balik gerakan buruh.

Dilihat dari kacamata jurnalis, keputusan untuk memfokuskan aksi di depan Gedung DPR RI adalah langkah yang cerdas. Gedung DPR, sebagai representasi dari lembaga legislatif, adalah target yang lebih relevan dan strategis dalam konteks tuntutan buruh. Mengapa? Karena sebagian besar tuntutan buruh, seperti reformasi upah, penghapusan outsourcing, dan revisi undang-undang ketenagakerjaan, secara langsung berada di bawah kewenangan DPR. Dengan memusatkan energi di sana, buruh menunjukkan bahwa mereka memahami alur kekuasaan dan tahu persis ke mana harus mengarahkan tekanan.

Said Iqbal, Presiden Partai Buruh, menegaskan bahwa pembatalan ini disebabkan oleh “keterbatasan waktu.” Pernyataan ini, bagi sebagian pihak, mungkin terdengar seperti alasan klise. Namun, bagi pengamat sosial dan politik, ini bisa jadi sebuah sandi. Bisa jadi, ada negosiasi atau lobi-lobi di balik layar yang membuat para buruh merasa lebih efektif untuk berdialog langsung dengan perwakilan rakyat di DPR, daripada berhadapan dengan tembok tebal Istana yang seringkali sulit ditembus.

Aksi yang diprediksi akan diikuti oleh puluhan ribu buruh ini, membawa enam tuntutan utama yang sangat esensial bagi kesejahteraan pekerja di Indonesia. Tuntutan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5-10,5 persen bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari desakan akan upah yang layak di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok. Selain itu, tuntutan penghentian PHK, penghapusan outsourcing, dan reformasi pajak perburuhan menunjukkan bahwa buruh tidak hanya berjuang untuk upah, melainkan untuk hak-hak dasar dan perlindungan kerja yang selama ini sering diabaikan.

Pembatalan demo di Istana bukan berarti buruh takut. Ini adalah tanda kedewasaan dalam berpolitik dan berstrategi. Alih-alih mengedepankan aksi massa yang berpotensi menimbulkan gesekan, para buruh memilih jalur yang lebih terorganisir dan fokus. Mereka menyadari bahwa pertarungan sesungguhnya bukan di jalanan, melainkan di meja perundingan, di mana setiap argumen dan data harus kuat untuk bisa memenangkan hati para pembuat kebijakan.

Pada akhirnya, apa yang terjadi pada 28 Agustus 2025 bukanlah kekalahan, melainkan sebuah babak baru. Buruh menunjukkan kepada publik bahwa mereka tidak hanya mampu berunjuk rasa, tetapi juga lihai dalam membaca situasi politik dan menyusun strategi. Ini adalah langkah maju yang akan membentuk lanskap perjuangan buruh di masa depan, di mana kecerdasan dan ketepatan sasaran menjadi senjata utama.