Lebih dari sekadar unjuk rasa, demo BEM SI adalah panggung adu narasi. Ribuan aparat berhadapan dengan suara kritis mahasiswa, sebuah cermin demokrasi yang dipertaruhkan di jalanan ibu kota.
Panggung itu kembali digelar di jantung ibu kota. Kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, pada Senin siang, sekali lagi menjadi saksi sebuah ritual demokrasi yang tak pernah usang: mahasiswa turun ke jalan. Namun, melihat aksi demo BEM SI hari ini hanya dari spanduk tuntutan atau jumlah massa adalah sebuah kesia-siaan. Ini lebih dari itu. Ini adalah perang urat syaraf, sebuah pertarungan narasi antara idealisme jalanan dan kalkulasi kekuasaan.
Di satu sisi, ada ribuan jaket almamater yang terbakar terik matahari. Senjata mereka adalah megafon, lirik lagu perjuangan, dan karton-karton bertuliskan gugatan. Mereka, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), membawa narasi keresahan publik, menerjemahkan statistik ekonomi yang dingin menjadi pekikan nasib rakyat. Bagi mereka, aspal jalanan adalah mimbar terhormat ketika mimbar-mimbar resmi dirasa bisu.
Di sisi lain, berdiri kokoh barisan aparat. Angka 1.489 personel yang dikerahkan polisi bukanlah sekadar statistik pengamanan. Angka itu adalah sebuah pesan. Sebuah penegasan tak terucap tentang batas-batas yang boleh dan tidak boleh dilintasi. Kehadiran mereka, dengan tameng dan kendaraan taktis yang siaga di kejauhan, adalah narasi tandingan: narasi tentang ketertiban, stabilitas, dan kontrol. Imbauan agar aksi berjalan “humanis dan damai” adalah koreografi standar dalam pertunjukan ini, di mana negara menunjukkan wajah persuasif sekaligus kekuatan siaganya.
Maka, yang tersaji di Patung Kuda bukanlah sekadar demo BEM SI. Ini adalah sebuah teater politik. Mahasiswa memainkan peran sebagai penyambung lidah rakyat, sementara aparat adalah penjaga gerbang istana. Di antara mereka, ada warga kota yang terjebak macet—penonton yang tak selalu bersimpati—dan jutaan pasang mata lain yang menyaksikan lewat layar gawai, mencoba menafsirkan siapa pahlawan dan siapa antagonis dalam drama episodik ini.
Pada akhirnya, nilai sebuah demonstrasi tidak diukur dari diterima atau tidaknya tuntutan mereka saat itu juga. Nilainya terletak pada getaran yang ia ciptakan. Apakah suara dari megafon itu cukup kuat untuk menembus dinding kedap Istana? Ataukah ia hanya akan menjadi kebisingan sesaat yang ditelan oleh klakson kendaraan dan sirene pengawalan? Jawaban atas pertanyaan itu, mungkin, adalah cerminan sejati dari kesehatan demokrasi kita hari ini.