Aksi demo ojol di Monas bukan sekadar soal kemacetan, melainkan potret benturan antara valuasi miliaran rupiah perusahaan aplikasi dengan teriakan para mitranya di bawah terik matahari.
Polisi menghitung ada 1.632 personel gabungan yang diturunkan. Mereka sibuk mengatur rekayasa lalu lintas, mendirikan barikade, dan memastikan semuanya “aman”. Namun, di balik angka-angka resmi dan protokol keamanan itu, ada angka lain yang jauh lebih penting: ribuan suara serak, ribuan peluh yang menetes, dan ribuan keluarga yang nasibnya dipertaruhkan di atas aspal Silang Monas, Jakarta Pusat.
Ini bukan sekadar demo ojol. Ini adalah sebuah anomali besar di era digital. Di satu sisi, kita punya narasi manis tentang perusahaan aplikasi—startup unicorn dan decacorn dengan valuasi triliunan rupiah, yang dipuji sebagai pahlawan inovasi dan efisiensi. Di sisi lain, kita melihat para “mitra” mereka, tulang punggung dari efisiensi itu, harus turun ke jalan, membakar ban, dan berteriak di bawah terik matahari hanya untuk didengar.
Pemandangan di Monas kemarin adalah benturan keras antara dua dunia itu. Dunia kantor ber-AC tempat algoritma dan tarif diputuskan dalam hitungan detik, dengan dunia jalanan tempat para pengemudi harus bernegosiasi dengan kemacetan, cuaca, dan potongan komisi yang mencekik. Para pengemudi ini adalah server manusia. Mereka adalah bagian paling vital dari sistem, namun sering kali diperlakukan sebagai komponen yang paling bisa diganti.
Aksi demo ojol ini menjadi semacam glitch in the matrix. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap pesanan makanan yang tiba tepat waktu atau perjalanan yang murah meriah, ada manusia dengan kebutuhan, harapan, dan batas kesabaran. Mereka bukan sekadar titik yang bergerak di layar aplikasi kita. Mereka adalah para bapak, ibu, dan anak muda yang sedang berjuang di tengah rimba raya ekonomi digital yang sering kali tak punya hati.
Fokus aparat pada pengamanan tentu penting untuk ketertiban kota. Namun, memandang aksi ini hanya sebagai potensi gangguan keamanan adalah sebuah kesempitan berpikir. Ini adalah parlemen jalanan. Ini adalah mosi tidak percaya dari para pekerja informal terhadap sistem “kemitraan” yang timpang. Mereka tidak sedang melawan polisi di lapangan; mereka sedang berteriak pada entitas raksasa yang tak berwajah di menara-menara kaca.
Jadi, sementara lalu lintas dialihkan dan aparat berjaga, pertanyaan sesungguhnya bukanlah “apakah demo berjalan tertib?”, melainkan “apakah pesan mereka sampai?”. Sebab jika tidak, lautan jaket ini akan terus kembali, menjadi pengingat abadi bahwa janji kemajuan teknologi tak ada artinya jika ia meninggalkan manusianya di belakang.