Di balik kemegahan takhta, terbaring kisah Pangeran Arab Saudi Al Waleed. Selama 20 tahun, waktu berhenti baginya, menjadi cermin keabadian harapan dan batas kemampuan manusia
Di dunia yang berputar tanpa henti, di mana kekuasaan dan kekayaan mampu membeli nyaris segalanya, ada satu hal yang tetap tak ternilai dan tak tertaklukkan: waktu. Inilah pelajaran paling sunyi yang diajarkan oleh kisah Pangeran Arab Saudi Al Waleed bin Khaled bin Talal, sang “Sleeping Prince” yang tidurnya menjadi penanda keabadian harapan sekaligus batas akhir kekuatan manusia.
Pada tahun 2005, di jalanan London yang sibuk, takdir menulis ulang naskah hidup sang pangeran muda. Sebuah kecelakaan mobil yang brutal merenggut kesadarannya, menjebaknya dalam labirin koma yang tak berujung. Saat itu, usianya baru 15 tahun, seorang pemuda di puncak privilese dengan masa depan yang terbentang luas. Namun, dalam sekejap, semua itu sirna, digantikan oleh deru mesin ventilator dan kesunyian panjang di sebuah ranjang rumah sakit.
Selama hampir dua dekade—rentang waktu yang cukup untuk melihat dunia berubah, teknologi melesat, dan generasi baru lahir—Al Waleed tetap diam. Ia menjadi monumen hidup, sebuah paradoks yang memilukan. Di satu sisi, ia adalah simbol dari kekuatan finansial dan kasih sayang keluarga yang tak terbatas. Ayahnya, Pangeran Khaled bin Talal, menolak untuk menyerah. Ia mengubah kamar rumah sakit menjadi istana mini, lengkap dengan perawatan terbaik yang bisa dibeli dengan uang, menolak mencabut alat bantu hidup dengan keyakinan bahwa mukjizat masih mungkin terjadi.
Namun, di sisi lain, kisah Al Waleed adalah cermin yang brutal tentang kerapuhan kita sebagai manusia. Di hadapan takdir, gelar pangeran, dan pundi-pundi yang melimpah menjadi tak berarti. Tubuhnya yang terbaring kaku menjadi saksi bisu bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar dinasti dan kekayaan.
Selama 20 tahun, dunia di luar kamarnya terus bergerak. Media sosial lahir, konflik global datang dan pergi, bahkan negerinya sendiri mengalami transformasi besar-besaran. Namun, bagi Pangeran Arab Saudi Al Waleed, waktu telah berhenti. Setiap kabar tentang gerakan kecil—sebuah kedipan mata, sebuah pergerakan kepala—menjadi berita utama yang menyalakan kembali api harapan, sebelum kembali padam dalam penantian yang panjang.
Pada Juli 2025, di usianya yang ke-36, perjalanan sunyi itu akhirnya mencapai titik akhir. Sang “Pangeran Tidur” berpulang, mengakhiri dua dekade penantian. Kepergiannya bukan hanya menutup sebuah babak duka bagi keluarga kerajaan, tetapi juga meninggalkan warisan yang tak tertulis: sebuah perenungan mendalam tentang arti hidup, harapan, dan batas-batas yang bahkan tak mampu ditembus oleh seorang pangeran sekalipun. Jam pasirnya telah berhenti, namun kisahnya akan terus bergulir sebagai pengingat abadi.