Pemangkasan BI Rate menjadi 5,25% menandai era baru kebijakan moneter. Ini sinyal optimisme BI terhadap inflasi, sekaligus upaya proaktif mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pada Rabu (16/7/2025) bukanlah sekadar penyesuaian angka. Langkah ini menandai sebuah pivot strategis dan babak baru dalam arah kebijakan moneter nasional, dari yang semula berfokus pada pengetatan (hawkish) kini beralih ke pelonggaran (dovish) untuk menopang pertumbuhan.
Setelah berbulan-bulan mempertahankan suku bunga tinggi demi menjangkar inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, BI akhirnya melihat “ruang” yang cukup untuk mengubah haluan. Keputusan ini secara implisit mengirimkan sinyal kuat ke pasar dan pelaku ekonomi: Bank Sentral kini lebih percaya diri bahwa tekanan inflasi telah terkendali dan berada dalam target yang aman. Stabilitas Rupiah yang terjaga dalam beberapa waktu terakhir menjadi prasyarat kunci yang memungkinkan langkah berani ini diambil.
Dengan “hantu” inflasi yang mulai jinak, fokus BI kini bergeser pada tantangan berikutnya, yakni mengakselerasi pertumbuhan ekonomi domestik yang menunjukkan tanda-tanda perlambatan di tengah ketidakpastian global. Penurunan BI Rate adalah resep klasik untuk merangsang perekonomian. Tujuannya jelas, yaitu membuat biaya pinjaman menjadi lebih murah bagi dunia usaha dan masyarakat.
Langkah ini diharapkan dapat memicu efek domino yang positif. Bagi korporasi, biaya kredit yang lebih rendah dapat mendorong investasi baru dan ekspansi usaha. Sementara bagi konsumen, cicilan untuk kredit kepemilikan rumah (KPR), kendaraan bermotor, dan kredit konsumsi lainnya akan menjadi lebih ringan, sehingga berpotensi meningkatkan daya beli masyarakat. Sektor properti, otomotif, dan perbankan menjadi beberapa sektor yang diperkirakan akan mendapat angin segar dari kebijakan ini.
Meskipun demikian, langkah penurunan BI Rate ini juga menjadi pertaruhan. Efektivitasnya akan sangat bergantung pada seberapa cepat perbankan komersial merespons dengan menurunkan suku bunga kredit mereka. Selain itu, respons dari pelaku usaha dan konsumen juga menjadi penentu apakah “obat” yang diberikan BI ini mampu bekerja sesuai harapan.
Kini, bola ada di tangan sektor riil dan lembaga keuangan. Keputusan BI ini adalah sebuah undangan untuk kembali tancap gas. Pasar akan mengamati dengan saksama apakah langkah awal ini cukup, atau apakah BI perlu mengeluarkan stimulus lanjutan dalam beberapa bulan mendatang untuk memastikan mesin ekonomi Indonesia tetap berputar kencang.