STAI Yapata Al-Jawami

Vonis Digital untuk Irene Agustine: Ketika Masa Lalu Pria Menjadi Aib Wanita

Irene Agustine

Irene Agustine

Di panggung gosip digital, nama Irene Agustine diseret. Namun, ini bukan soal siapa ayah dari anaknya, melainkan tentang bagaimana perempuan terus-menerus didefinisikan oleh pria di sekitarnya.

Internet adalah mesin waktu yang kejam. Ia tak pernah benar-benar bergerak maju, melainkan gemar menarik paksa masa lalu seseorang ke panggung masa kini untuk dihakimi bersama. Pekan ini, giliran DJ dan kreator konten Irene Agustine yang diseret ke tengah arena digital itu, dipaksa menelan tudingan yang bahkan bukan berasal dari kesalahannya.

Sebuah narasi liar tiba-tiba berembus kencang di media sosial. Isunya? Anak Irene dituding bukan darah daging suaminya, Bimo Putra Dwitya, melainkan buah hatinya dengan seorang pria dari masa lalu—pria yang kebetulan juga pernah menjalin asmara dengan selebritas lain, Erika Carlina. Seketika, Irene yang tadinya dikenal karena karyanya sebagai DJ, konten keluarganya yang hangat, dan kepribadiannya yang apa adanya, direduksi menjadi satu label: “wanita yang punya anak dari mantan si A.”

Inilah ironi paling menyakitkan dari gosip di era modern. Cerita ini, jika kita telisik, sebenarnya bukan tentang Irene Agustine. Ini adalah tentang jejak digital seorang pria. Namun, dalam hukum tak tertulis masyarakat patriarki, wanitalah yang selalu dipaksa menanggung beban, memikul aib, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menusuk. Nama Irene menjadi tameng hidup untuk drama yang melibatkan orang lain.

Mari kita bedah situasinya. Alih-alih mempertanyakan validitas tudingan anonim, publik justru sibuk memvonis. Kolom komentar berubah menjadi ruang sidang dadakan tempat para netizen berperan sebagai jaksa penuntut sekaligus hakim. Identitas Irene sebagai seorang ibu, istri, dan profesional seolah terhapus, digantikan oleh bisik-bisik soal silsilah anaknya. Padahal, Irene sendiri tak pernah menyembunyikan masa lalunya yang kompleks, sebuah kejujuran yang kini justru dipelintir menjadi senjata untuk menyerangnya.

Ini lebih dari sekadar gosip artis. Ini adalah cermin retak yang menunjukkan betapa mudahnya kita merendahkan pencapaian seorang perempuan dengan mengikatnya pada rekam jejak pria di sekelilingnya. Kisah Irene Agustine menjadi preseden buruk, sebuah pengingat bahwa di dunia yang terobsesi dengan siapa-tidur-dengan-siapa, seorang wanita harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan nilainya, dan seribu kali lebih tegar untuk bertahan saat masa lalu orang lain dilemparkan ke wajahnya.

Pada akhirnya, ini bukanlah pertanyaan tentang “Siapa Irene Agustine?”. Ini adalah pertanyaan untuk kita semua: Sampai kapan kita akan terus menikmati pertunjukan di mana kehormatan seorang wanita dijadikan konten?

Exit mobile version